Rabu, 18 Maret 2009

masa kecilku







Assalamu’alaikum Wr.Wb

Hai…

Salam kenal,,assalamu’alaikum..

Nama Lengkapku Sutriyani,

tapi teman-teman sekolahku biasa memanggil Sutri. Karna Nama Lengkapku Sutriyani tak Jarang juga teman-teman rumah alias teman masa kecilku biasa memanggilku Yani Keluarga ku juga Loch…^_^

Aku Lahir di Jakarta Pada Tanggal 07 September 1989 (jangan lupa Kadonya Yach..heE), anak ketiga dari tiga bersaudara (satu kakak perempuan dan satu kakak laki-laki). Ayahku orang Jakarta (asli Loch,,) dan ibuku asli orang Banten. Karna saudara-saudara ayahku tu banyak juga dari desa ibuku, makanya aku memanggil kedua kakakku dengan bahasa sunda aa (kakak Laki-laki) dan teteh (kakak perempuan).

SEkarang aku sedang menyelesaikan studi di Universitas Negeri Jakarta yang terletak di Rawamangun, Jakarta Timur (Hufh..) jauh BeUd dah dari tempat tinggalku yang berada di daerah Jakarta Barat, But it’s Oke..

Aku punya cerita tentang masa kecilku yang kata’y sangat menggemaskan..Hehehe

Aku terlahir dengan berat badan 2 kg, dan panjangnya/tingginya , karna berat badanku kecil sampai-sampai aa ku mengira kalau aku tu BONEKA, dia pengen banget Gendong, tetapi karna aku masih kecil , otomatis ibuku tidak mengijinkannya untuk menggendong aku. Dan teteh memberi dia bantal guling, tetapi...Tw ap yang terjadi? Aa ku menangis seharian (duh jadi gk enak Neh..hehe), sampai pada puncaknya akhirnya aa ku berhenti menangis, karna dia diinjakkan kakinya oleh nenek (ibu dari Ibuku) ke ari-ariku. Saat ku kecil aku senang sekali minum susu dibotol sampai umur 6 tahun dan mengempeng sampai berumur 4 tahun (BuseTtt deH..). Nah, karna 4 tahun aku masih mengempeng tak jarang kakak-kakakku iseng menjahiliku, pada saat aku dan keluargaku pulang kampung, diperjalanan empengku ditarik sampai lepas dan rusak tak bisa terpakai lagi..hikz..Hikz..karna empeng itu sudah lama menemaniku (OoHhh..), aku pun tidak mau digantikan dengan yang lain (huh..Setianya), Walaupun ibuku sudah membelikannya yang baru, tapi aku Ngak mau. Semenjak peristiwa itu aku berhenti mengempeng. Sejak ku kecil, aku sering sekali bermain dengan aa ku, makanya agak tomboy dan sering mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan..HUfh..contohnya waktu aku berumur 6 tahun, mata kakiku terbakar oleh plastik akibat karna aku dan aa bermain dengan api (untuk adik-adik, jangan sekali-kali bermain api Yach..Berbahaya Loch!), walaupun hanya kecil lukanya tapi masih berbekas sampai sekarang..:(

Dan ada lagi, waktu main buaya-buayaan yang permainannya itu, satu orang menjadi buaya dan yang lainnya menjadi ibu-ibu yang sedang mencuci baju di sungai. Bagi orang yang menjadi ibu-ibu dia tidak boleh ke air yang biasa kami tandai dengan jalan aspal, semen atau sejenisnya berarti ibu-ibu terseput harus berada didarat yang biasa kami tandai denga papan yang terbuat dari kayu, sedangkan untuk buaya, dia bertugas untuk menoelkan tangannya ke ibu-ibu yang berada di air. Aku yang pada waktu itu sebagai ibu-ibu, ingin menyebrang melewati buaya waktu itu berhasil, tetapi sangat disayangkan aku tercebur di selokan..(hihHhh..). dan aku juga sering manjat-manjat pohon yang masih jangkauan anak-anak..:)

Kebiasaanku kecil aku suka banget makan telor..(telornya Mateng Yach..) sampai-sampai jidatku ini timbul biang keringat,, (tapi sekarang ud Bersih co..). saat aku masuk Sekolah Dasar (SD)

Pendidikan Informal

Artikel 1:

Pendidikan formalVs Informal.Penting mana?

Pagi hari menonton acara diskusi MetroTV soal pentingnya pendidikan, dan diskusi terbuka via telpon mengenai perlunya pendidikan tinggi, kaitannya dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini, menampilkan beberapa contoh termasuk Bapak Sony Sugema, pengusaha bimbingan belajar, yang (saya baru tahu) ternyata tidak sempat lulus karena keterbatasan biaya dahulu ketika mengenyam pendidikan tinggi.

Diskusi mengalir dengan agak flat out, karena sang narasumber terlihata “agak” menekankan pentingnya ilmu disiplin dia relatif terhadap pertanyaan pendengar. Terlepas dari diskusi yang ada, kajian ini cukup menarik, karena relevansi terhadap perubahan dunia saat ini.

Menurut hemat saya, point pendidikan ini cukup menarik, mengingat kita sebagai negara memiliki status “tertinggal” di dalam banyak hal. Dan salah satu reputasi yang “tidak enak” dalam percaturan dunia adalah… sedemikian apa pun tingkat intelektualitas kita, nilai executive Indonesia akan terkompensasi lebih rendah dibandingkan dengan executive luar. Fakta yang menyedihkan.

Nah penting mana sih pendidikan formal atau informal? Menurut pandangan saya, keduanya memegang peranan penting. Pendidikan formal penting, non formal juga sama pentingnya, dapat memperoleh keduanya juga suatu anugerah. Bagaimana dengan yang tidak beruntung memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi karena faktor biaya? Hmm rasanya ini merupakan PR utama pemerintah disamping gerakan swasembada yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengulurkan tangan.

Namun kok masih terasa kental atmosfir lulusan pendidikan tinggi kita sangat tidak siap dengan dunia kerja yang merupakan dunia sebenarnya yang akan ditempuhnya sebagai sandaran hidup di sepanjang sisa hidupnya? Apakah pendidikan kita saat ini sudah sangat tidak berorientasi dengan dunia kerja? (terlepas dari pendidikan-pendidikan kejuruan/keahlian yang lebih “siap pakai”

Artikel 2:

Pendidikan informal tak tersentuh, anggaran 20 persen tertimpang

Selasa, 26 Agustus 2008 14:28

(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya. (Mimie/IOT-03)

Artikel 3 :

Pendidikan Informal:PAUD Muslimat NU Berstandar Internasional

Ditulis oleh Administrator

Saturday, 04 August 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Untuk meningkatkan kompetensi, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lathifah milik Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menerapkan metode pembelajaran beyond centers and circle time (BCCT) dan berstandar internasional.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU Hj. Khofifah Indar Parawansa usai menghadiri pembukaan pelatihan keaksaraan fungsional (KF) dan loka karya pertanian yang digelar Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung di Wisma Bandar Lampung, Kamis (7-6). Hadir Direktur Jenderal (Dirjen) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Djoko Said, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar dan puluhan pejabat teras, organisasi wanita dan 1.200 anggota Muslimat NU se-Lampung.

Pada kesempatan itu Khofifah juga meresmikan PAUD Lathifah di Jalan W.R. Supratman, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung.

Selanjutnya Khofifah menjelaskan fokus metode pembelajaran BCCT dengan mengajak anak-anak lebih aktif, inovatif, dinamis, partisipasif, dan agamais dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Yakni mulai dari proses belajar mengajar hingga alat permainan edukatif (APE) dikemas sedemikian rupa sehingga anak-anak makin kreatif dan inovatif. Misal saja, mulai dari tempat duduk dan meja harus ditata sedemikian rupa dengan posisi melingkar. Sehingga anak-anak diajak berdiskusi tentang berbagai hal juga mengenal huruf dan angka, serta cara menghitung dan membaca yang dikemas secara rekreatif. Sesuai pembelajaran PAUD yakni belajar sambil bermain. "Jadi, tak hanya TK dan raudhatul athfal (RA) saja yang berstandar internasional, tapi juga PAUD Muslimat NU."

Selanjutnya ia menjelaskan, saat ini, Muslimat NU memiliki 2.224 PAUD, dari jumlah tersebut terbanyak di Jawa Timur (Jatim). "Di Lamongan, Jatim, kami memiliki 560 PAUD. Bahkan PAUD Tarahan di Kalimantan Timur, Batam, dan Sidoardjo menjadi PAUD percontohan," ujar dia.

Tahun ini, ia menargetkan setiap anak cabang (kecamatan) dan ranting (kelurahan) memiliki PAUD.

Muslimat NU juga memiliki 9.800 taman kanak-kanak (TK) dan 11.900 taman pendidikan Alquran (TPA), dan 32 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang tersebar di berbagai pelosok Tanah Air.

Sementara, Ketua PW Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin

menjelaskan PW Muslimat NU memiliki PAUD, TK/RA, taman pendidikan agama (TPA), taman pendidikan Quran (TPQ) di bawah naungan Yayasan Al Ma'arif yang tersebar di 10 kabupaten/kota.

Sementara itu, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said mengaku salut atas komitmen Muslimat NU dalam membantu pemerintah baik di bidang pendidikan, pertanian, ekonomi, dan sebagainya.

Hal senada juga disampaikan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Provinsi Lampung Ellya Muchtar. "Sebagai underbouw dari ormas NU, ternyata kiprah Muslimat NU sangat banyak. Tak hanya meningkatkan pendidikan dan dakwah, tapi juga pemberdayaan perempuan," ujar dia. AST/S-1

Artikel 4 :

Ada Apa dengan Pendidikan Kita?

* Pendidikan Nonformal dan Informal Pun Perlu Perhatian

Soekartawi


TULISAN ini saya siapkan setelah menonton acara RCTI dalam programnya Who Wants to be a Millionaire, Sabtu 9 April 2005, di mana peserta yang bernama Agus, seorang loper (penjaja) koran memenangi hadiah sebesar Rp 500 juta dan merupakan hadiah terbesar selama acara tersebut digelar.

BAGAIMANA seorang loper koran mampu menjawab pertanyaan yang begitu sulit, membuat penonton-di studio, saya sekeluarga, dan bahkan pemandu acara, Tantowi Yahya-terkagum-kagum. Di situ terjadi dialog yang membuat orang terharu, sekaligus bangga. Bahkan saya lihat beberapa ibu yang wajahnya tertampang di layar TV menangis dan bahkan berteriak-teriak histeris.

Saat yang kritis itu terjadilah dialog yang maknanya sungguh luar biasa bagi fenomena pendidikan kita dewasa ini, bahkan menyentuh perasaan orang yang mengikutinya.

Tantowi, si pemandu acara, berkata, "Agus, kamu sebaiknya mundur saja dan dapat Rp 250 juta daripada kamu menjawab tidak pasti dan nanti kalau jawabanmu salah kamu hanya dapat Rp 32 juta."

Agus, dengan kesederhanaannya seperti yang diekspresikan di wajahnya menjawab dengan pasti, "Tidak mundur."

Tantowi balik bertanya, "Kenapa? Apakah kamu yakin dengan jawabanmu itu..."

Agus menjawab dengan tenang, "Ya, yakin!"

"Dari mana kamu tahu jawaban itu benar?"

"Saya pernah membacanya."

Jawaban inilah yang menjadikan semua orang heran dan terkagum, termasuk Tantowi. Pertanyaan itu memangnya bukan level-nya ditanyakan pada seorang loper koran, tetapi Agus ternyata dapat menjawabnya. Setelah ditanya lagi, ternyata dia suka membaca koran bekas sebab koran yang baru diperuntukkan bagi pelanggannya. Ini adalah salah contoh keberhasilan pendidikan informal atau nonformal yang justru selama ini luput dari perhatian orang banyak.

Yang dipersoalkan orang selama ini adalah terlalu berat pada masalah pendidikan formal, misalnya subsidi BBM untuk pendidikan, kenaikan SPP, ujian nasional, gedung sekolah rusak, gaji guru dan dosen rendah, dan banyak lulusan menganggur. Padahal, jumlah mereka yang masuk dalam klasifikasi pendidikan formal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang yang terlibat dan memerlukan pendidikan informal dan nonformal. Karena perhatian ke pendidikan formal begitu besar, tidak mengherankan kalau sekarang ini banyak orang mengejar ijazah, bukan mengejar ilmu pengetahuan dan keterampilan seperti yang dicontohkan oleh Agus tadi. Akibatnya, banyak pemilik ijazah menjadi kecewa kalau mereka tidak mendapatkan pekerjaan.

Pendidikan massal

Selama tiga tahun terakhir ini saya mendapatkan tugas untuk memperkenalkan dan mengembangkan pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) atau yang lebih dikenal dengan istilah education atau distance learning, baik dengan metoda konvensional yang mengandalkan pada bahan cetak, audio dan video maupun metoda terbaru dengan e-learning, on-line learning atau web-based learning untuk kawasan Asia Tenggara. Negara lain di Asia Tenggara ini sudah memanfaatkan cara ini untuk program pendidikan massal agar masyarakat dapat dengan cepat menikmati pendidikan untuk menciptakan masyarakat madani (knowledge society), khususnya dalam mengantisipasi pengaruh global sekarang ini. Lebih dari itu, program pendidikan massal juga dimaksudkan dalam kerangka pendidikan untuk semua (education for all) dan pendidikan selama hayat (life long education) selama orang masih dapat meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan, apakah itu pendidikan formal, nonformal maupun informal.

Tokoh Agus, seperti yang diceritakan di atas, tentunya bukan satu-satunya contoh keberhasilan seseorang dalam menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan melalui pendidikan informal atau nonformal. Tentu saja kalau dia memang sungguh-sungguh dan serius belajar mandiri. Dengan berkat kesungguhan dan kejujuran itulah akhirnya Agus dapat mencapai cita-citanya di mana ia ke Jakarta untuk tujuan memperbaiki hidupnya sebagai anak petani miskin di Jawa Tengah. Penulis sangat yakin masih banyak orang berprestasi seperti Agus, mengembangkan dirinya melalui pendidikan informal ataupun nonformal.

Tokoh Agus tentunya berlawanan dengan tokoh Gelas dalam sinetron Bujangan yang ditayangkan di SCTV, yang dimainkan oleh Anjasmara. Tokoh Anjas adalah contoh dari ketidakberhasilan pendidikan kita, di mana Anjas berangkat dari Medan ke Jakarta dengan modal cita-cita yang sama dengan Agus, tetapi sayang ia tidak memanfaatkan keunggulan belajar dengan cara informal atau nonformal sehingga kekecewaan yang diraihnya. Tokoh Anjas yang dalam sinetron itu bekerja sebagai sopir bus metro mini, kalau pulang ke Medan berpura-pura menjadi dokter. Akhirnya "celaka yang dipanen" Anjas (karena ketahuan belangnya) dan sebaliknya "kebahagiaan yang dipanen Agus" (karena kejujuran dan ketekunannya). Perbedaan keduanya hanya terletak pada dapat dan tidaknya atau mau dan tidaknya mereka dalam memanfaatkan pendidikan informal atau nonformal.

Dalam situasi di mana APBN untuk pendidikan masih terbatas, perlu dipikirkan bagaimana menyelesaikan masalah pendidikan dewasa ini dengan cara menambah orang-orang seperti yang dicontohkan Agus, si loper koran tersebut. Caranya? Dapat dilakukan melalui pendidikan massal dengan cara distance learning apakah itu melalui teknik e-learning, on-line learning atau web-based learning. Mengapa mesti distance learning?

Apa itu "distance learning"?

Orang sering pula menamakannya distance education atau pendidikan jarak jauh. Ciri-ciri dari distance learning atau DL antara lain adalah (a) sistem pendidikan yang pelaksanaannya memisahkan guru dan siswa. Mereka terpisahkan karena faktor jarak, waktu, atau kombinasi dari keduanya; (b) karena guru dan siswa terpisahkan, maka penyampaian bahan ajar dilaksanakan dengan bantuan media-e-learning, seperti media cetak, media elektronik (audio, video), atau komputer dengan segala keunggulan yang dimilikinya; (c) bahan ajarnya bersifat "mandiri". Untuk e-learning atau on-line course bahan ajarnya disimpan dan disajikan di komputer; (d) komunikasinya dua arah, baik yang disampaikan secara langsung (synchronuous) maupun secara tidak langsung (asynchronuous); (e) sistem pembelajarannya dilakukan secara sistemik (terstruktur), teratur dalam kurun waktu tertentu. Kadang-kadang juga dilakukan pertemuan antara guru dan siswa, entah dalam forum diskusi, tutorial, atau dengan pertemuan tatap muka ("residential class"). Namun, pertemuan tatap muka tidak boleh mendominasi pelaksanaan pendidikan; (f) paradigma baru yang terjadi dalam DL adalah peran guru yang lebih bersifat "fasilitator" dan siswa sebagai "peserta aktif" dalam proses belajar-mengajar. Karena itu, guru dituntut untuk menciptakan teknik mengajar yang baik, menyajikan bahan ajar yang menarik, sementara siswa dituntut untuk aktif berpartisipasi dalam proses belajar.

Dalam banyak kasus, hasil DL ini cukup membanggakan dan tidak kalah dengan hasil pendidikan tatap muka. Tentu saja kalau DL tersebut dilaksanakan secara baik dan benar. Sebaliknya, masalah yang sering dihadapi dalam pelaksanaan DL umumnya adalah kurang tersedianya infrastruktur dan sumber daya pendukungnya, kurang siapnya SDM yang terlibat (baik guru, siswa maupun teknisi), cara penyampaiannya yang tidak memerhatikan kaidah-kaidah DL dan kurang atau tidak adanya dukungan kebijakan.

Di samping itu, masyarakat juga sering punya persepsi yang keliru tentang DL. Misalnya, kualitasnya kurang menjamin, biayanya mahal, tidak diakreditasi oleh pemerintah, tidak asyik karena tidak ada interaksi antara siswa dan siswa atau siswa dan guru. Hal seperti ini mestinya tidak perlu terjadi kalau mereka mengerti dan kalau DL itu dilaksanakan secara baik dan benar.

Dalam banyak kenyataan, jarang sekali ditemui DL yang seluruh proses belajar-mengajarnya dilaksanakan dengan e-learning atau on-line learning. Untuk memperkecil kritik terhadap DL, maka blended DL (campuran antara on-line course dan tatap muka) adalah solusinya. Juga dalam blended DL ini tidak juga perlu membentuk lembaga pendidikan sendiri, seperti universitas terbuka, tetapi cukup membuat unit yang khusus menangani blended DL ini. Dengan demikian, pelajaran yang dilakukan secara on-line learning dapat hanya satu atau beberapa saja: tutorialnya saja, satu program studi saja, dan sebagainya.

Pengalaman negara lain dan juga pengalaman distance learning di Indonesia ternyata menunjukkan sukses yang signifikan, antara lain: (a) mampu meningkatkan pemerataan pendidikan; (b) mengurangi angka putus sekolah atau putus kuliah atau putus sekolah; (c) meningkatkan prestasi belajar; (d) meningkatkan kehadiran siswa di kelas, (e) meningkatkan rasa percaya diri; (f) meningkatkan wawasan (outward looking); (g) mengatasi kekurangan tenaga pendidikan; dan (h) meningkatkan efisiensi.

DL pendidikan informal dan nonformal

Barangkali tidak berlebihan kalau penulis mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memanfaatkan cara blended DL ini untuk melayani kebutuhan pendidikan nonformal dan informal guna mempercepat pemerataan pendidikan di Indonesia, sekaligus realisasi konsep education for all dan life-long education seperti yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk pendidikan formal memang telah digarap melalui pendidikan jarak jauh, telah dilaksanakan melalui PPPG-Tertulis Bandung, SMP, SMA, dan universitas terbuka walaupun jumlah, kualitas, dan cakupannya masih perlu ditingkatkan terus.

Kebutuhan pendidikan nonformal dan informal yang ada di masyarakat sekarang ini adalah sangat besar dibandingkan dengan kebutuhan akan pendidikan formal. Bisa dimengerti karena di zaman global seperti sekarang ini persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin kuat sehingga peningkatan kemampuan diri sangat diperlukan. Cara seperti blended DL untuk pendidikan nonformal dan pendidikan informal adalah jawabannya.

Bagaimana caranya? Sebenarnya tidak terlalu sulit. Saya kira cukup banyak SDM kita yang telah menguasai teknologinya. Yang diperlukan sekarang adalah dukungan politik sekaligus komitmen dari pemerintah. Pelaksanaannya? Bisa dilakukan oleh pemerintah, swasta, atau pemerintah yang berpartner dengan masyarakat dalam pelaksanaannya. Semoga!

Soekartawi Pemerhati Pendidikan dan Pertanian, Dosen Universitas Brawijaya dan Mantan Direktur SEAMEO SEAMOLEC

Artikel 5 :

KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR

Kategori: Umum (399 kali dibaca)


Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan.

Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya.

"PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.

Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya.

Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF.

Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman. (T.Ad/id) (red


Artikel 6


Re: [assunnah] Berbagi tentang Homeschooling


lulu aliudin


Assalamualakum warohmatullohi Wa Barokatuh

Sekedar menambahkan apa yang telah dipaparkan oleh al Akh fatkhurrahman tentang

hal-hal teknis pelaksanaan homeschooling. Ana kutipkan penjelasan beberapa

petinggi depdiknas republik Indonesia yang saya dapatkan dari Seminar

"Homeschooling ? Siapa Takut" di Kantor depdiknas Ri jakarta.

Beberapa Tinjauan Peraturan Perubdangan Terhadap Homeschooling

oleh Agung Purwadi, D.Ed., M. Eng (Kepala Pusat Penelitian Kebijakan dan

Inovasi Pendidikan Balitbang Depdiknas"

Jalur yang ada pada pendidikan nasional dan hakikat pendidikan informal

Pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur: formal, nonformal, dan informal

(UUSPN pasal 13 ayat 1). pendidikan formal (PF) terdiri dari 3 jenjang dan

mencakup 7 jenis. Jenjang pendidikan formal adalah pendidikan dasar, menengah

dan tinggi. Sedangkan jenisnya adalah pendidikan umum, akademik, profesi,

vokasi (kejuruan), keagamaan, dan khusus.

Pendidikan nonformal (PNF) berfungsi sebagai pengganti. penambah dan/atau

pelengkap pendidikan formal dalam mendukung prinsip pendidikan sepanjang hayat

(life-long learning). PNf setidaknya memiliki 7 jenis: pendidikan anak usia

dini,kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,keaksaraan,

kesetaraan,keterampilan kerja, pendidikan kecakapan hidup dll. dengan demikian,

PNf meliputi spektrum pendidikan yang jauh lebih luas dibandingkan PF.

Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan (UUSPN pasal 27 ayat

1). Artinya seseorang dapat menyelenggarakan pendidikan informal untuk peserta

didik yang merupakan anggota keluarganya atau tetangga yang tinggal di

lingkungannya. Pendidikan informal ini dilaksanakan dalam bentuk belajar secara

mandiri. mengingat fungsi dan prinsip penyelenggaraan pendidikan, dan mengingat

tidak dicantumkannya jenis, apalagi jenjang pendidikan, yang menetapkan batasan

pendidikan pendidikan informal, maka dapat ditafsirkan bahwa pendidikan

informal mencakup spektrum yang paling luas diantara ketiga jalur pendidikan

yang ada di indonesia.

Selanjutnya mengingat batasan pendidikan informal tersebut, maka Homeschoolinng

dapat dikategorikan sebagi salah satu bentuk dari pendidikan informal. Istilah

"salah satu bentuk" digunakan dalam menjelaskan kedudukan Homeschoooling

terhadap pendidikan informal mengingat tidak tertutupnya kemungkinan tentang

adanya bentuk pendidikan informal lain pada saat ini dan di masa depan.

Sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan pada jalur informal, Homeschooling

sudah mendapat pengakuan dalam undang-undang (UU no 23 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan nasional)

Kutipan kedua dari tulisan Kak Seto, orangtua yang "tidak menyekolahkan dua

anaknya" bertajuk "Homeschooling, Pendidikan Alternatif Masa Depan"

Homeschooling-sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan

di rumah- kini sedang ramai dibicarakan orang. Sejumlah media massa, elektronik

ataupun cetak, juga telah mempopulerkan sistem pendidikan alternatif yang

bertumpu dalam suasana keluarga ini. Homeschooling semakin menjadi perhatian

dalam dua tahun terakhir ini antara lain sejak begitu banyaknya orangtua

merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah (negeri maupun swasta)

kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Kemudian banyak anak yang

menjadi stress karena sekolah dan kehilangan kreativitasnya yang alamiah.

(pada presentasi makalahnya, Kak Seto menjelaskan bahwa kurikulum di Indonesia

ini termasuk yang sangatpadat. Dan sebagimana kita ketahui kurikulum pendidikan

negeri ini tidaklah membimbing bangsa Indonesia untuk bertaqwa kepada Alloh,

sehingga tidak heran jika kondisi bangsa ini sebagaimana yang kita lihat.

semoga Alloh senantiasa memberi petunjuk kepada bangsa ini. Dengan kondisi

seperti ini sungguh saya sangat tidak tega menyekolahkan anak dengan kurikulum

yang mengabaikan pendidikan Din Al Islam. nas-alulloh as salamah wal afiah)

Kutipan ketiga dari makalah Dr. Ela Yulaelawati (Direktur Pendidikan Kesetaraan

Dirjen pendidikan luar sekolah) bertajuk Sekolah rumah dan pendidikan

alternatif. Saya jelaskan secara umum tentang makalah beliau. beliau membagi 2

kategori Sekolahrumah: Tunggal dan Majemuk( sekolahrumah majemuk adalah program

yang dilaksanakan Al Akh Abu samhan Fatkhurrahman dan oleh saya sendiri.

sekolahrumah tunggal adalah program yang dijalankan Kak Seto karena dia

memberikan sendiri pendidikan anaknya tanpa melibatkan orang lain)

Beliau menyebutkan syarat-syarat pelaksanaan sekolah rumah sebagi berikut

Tunggal

Mendaftarkan diri kepada Dinas pendidikan setempat melalui Kasubdin yang

membidangi pendidikan luar sekolah dengan melampirkan:

-Surat pernyataan ke2 ortu yang menyatakan bahwa sebagai ortu mereka

bertanggungjawab untuk melaksanakan pendidikan anak-anak di rumah secara sadar.

terencana dan terartur dan berkesinambungan. khusus untuk anak-anak diatas 13

tahun atau yang dudah menamatkan SMP harus membuat Surat Pernyataan bahwa yang

bersangkutan (si anak)bersedia untuk dididik melalui Sekolahrumah

-melampirkan bukti rapor, ijazah dan surat pengunduran diri dari sekolah

terdahulu, jika peserta didik sedang atau pernah dididik dalam sekolah formal.

-Program Sekolahrumah yang mencantumkan Format sekolah rumah yang dipilih,

jadwal belajar, kegiatan serta progra dan kurikulum yang digunakan.

Majemuk

Mendaftarkan.....(sama seperti diatas)

-surat pernyataan dari sekurang-kurangnya 5 keluargadan paling banyak 10 yang

siap melaksanakan Sekolah Rumah Majemuk....... (sama seperti diatas)

Demikian kutipan dari makalah yang dibagikan pada Seminar Homeschooling

beberapa waktu lalu. Insya Alloh akan ana tambahkan ganbaran Homeschooling di

beberapa belahan dunia.

--------------------------------

Do you Yahoo!?

Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail Beta.

Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id

Website audio: http://assunnah.mine.nu

Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]

Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]

Yahoo! Groups Links


Artikel 7


MEMBANGUN KEBIASAAN MEMBACA


1. PENDAHULUAN

Pada intinya, manusia Indonesia masa depan adalah insan yang cerdas dan kompetitif. Yang dimaksud dengan cerdas adalah cerdas yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Yang dimasud dengan insan kompetitif adalah insan yang berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, dan pembelajar sepanjang hayat. Dengan kata-kata lain, manusia Indonesia ditransformasikan dari masyarakat tradisional yang langka IPTEK dan yang memiliki estetika dan etika tradisional menjadi masyarakat moderen yang sarat IPTEKS dan yang memiliki estetika dan etika moderen.

Pembangunan manusia adalah suatu proses berkelanjutan yang membutuhkan penanganan yang serius dan tindakan segera. Dalam pelaksanaannya, semua pemangku kepentingan (stakeholders) perlu bekerja sama. Itulah sebabnya pendidikan tidak semata-mata pendidikan formal, tetapi meliputi pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Atas dasar betapa luasnya aspek pendidikan dalam pembangunan manusia, maka pendidikan dimasa depan tidak boleh hanya bertumpu kepada peranan pendidikan formal, tetapi harus secara simultan bertumpu pada pendidikan nonformal dan informal. Perananan masyarakat dalam pendidikan nonformal dan peranan keluarga dalam pendidikan informal, misalnya dalam menumbuhkan kebiasaan membaca, justru harus digalakkan dimasa depan. Cara menumbuhkan kebiasaan membaca dapat dilihat pada Bagian berikut.

2. MEMBANGUN KEBIASAAN MEMBACA


Kebiasaan membaca merupakan syarat bagi terciptanya insan cerdas dan kompetitip. Bahan bacaan adalah jendela bagi penggalian, pengasahan, pemerkayaan dan pengaktualisasian kemampuan afektif, kognitif dan psikomotorik manusia. Dengan demikian, masyarakat perlu membaca banyak buku. Akan tetapi, masalahnya adalah bagaimana meningkatkan minat baca publik.

Salah satu indikator untuk mengukur kebiasaan membaca pada masyarakat adalah jumlah surat kabar yang dikonsumsi oleh masyarakat. Angka ideal adalah 1:10, artinya setiap surat kabar dikonsumsi sepuluh orang, tetapi di Indonesia angkanya 1:45, di Sri Lanka 1:38, dan di Philipina 1: 30.

Berdasarkan hasil penelitian, Bank Dunia dalam laporannya pada tahun 1998 tentang pendidikan di indonesia menyebutkan siswa-siswa kelas enam SD Indonesia mempunyai nilai 51,7 dan Philipina 52,6 serta Thailand 65,1 dalam kemampuan membaca. Dua negara maju yaitu Singapura dan Hongkong masing-masing mempunyai nilai 74,0 dan 75,5 dalam kemampuan membaca.

Yang menjadi pertanyaan adalah faktor-fartor apakah yang menyebabkan rendahnya minat baca tersebut? Secara teoritis, banyak faktor dapat disebutkan, antara lain kurang tersedianya buku-buku yang berkualitas, terbatasnya kemampuan keuangan, kurangnya dan tidak meratanya akses masyarakat kepada bacaan atau kepada perpustakaan dan toko buku, kurang tersedianya buku yang mampu menarik minat masyarakat, belum tumbuhnya kebiasaan atau budaya membaca pada masyarakat, dan membaca belum menjadi kebutuhan utama masyarakat. Drs. H. Athaillah Baderi pada pidato ilmiahnya dalam rangka pengukuhannya sebagai pustakawan utama pada tahun 2006 yang lalu menghipotesiskan rendahnya minat dan kemampuan membaca disebabkan membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa Indonesia.

Untuk menjadikan membaca sebagai kebiasaan atau kebudayaan bangsa Indonesia diperlukan upaya-upaya yang sistematis, sistemik, terencana dan sungguh-sungguh. Dari hasil seminar internasional yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bersama Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca pada bulan Agustus 2006 di Jakarta terungkap strategi dan cara membangun kebiasaan membaca pada masyarakat Jepang, Belanda, Australia, Malaysia dan Singapura.

Di Jepang anak dikondisikan dengan bahan bacaan. Murid diwajibkan membaca selama 10 menit sebelum dilakukan kegiatan belajar mengajar. Selain itu, anak-anak telah dibiasakan dengan bahan bacaan meskipun anak itu sendiri belum bisa membaca.

Di Belanda, siswa diwajibkan memperkaya pengetahuan dengan membaca. Untuk itu, Belanda membangun sistem perpustakaan yang baik agar siswa mendapat bahan bacaan.

Di Australia, siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Kemudian, siswa menceritakan dan menilai isi buku yang dibaca sebelum pelajaran dimulai setiap hari. Siswa harus membaca minimal 7 judul buku dalam seminggu.

Di Malaysia, Pustaka Publik Negeri Sarawak bekerjasama dengan orang tua menanamkan kebiasan membaca ketika anak masih kecil. Pustaka Negeri akan memberi beberapa buah buku kepada orang tua untuk dibacakan di hadapan anaknya, dan dalam beberapa pekan Petugas Pustaka Negeri Sarawak akan mengganti bahan bacaan tadi.

Di Singapura, kurikulum mengharuskan siswa datang ke perpustakaan. Selain itu, siswa diwajibkan menyelesaikan suatu kegiatan persekolahan yang harus didukung oleh literatur yang cukup.

Di Basilia, menurut sumber lain, siswa SD pada masa libur diwajibkan membaca text book minimal 3 buah buku (masing-masing 2-3 bab plus summary.


3. PENUTUP

Seikatan dengan keberadaan Pakpak di NKRI dan dunia global, diperlukan pengembangan SDM Pakpak secara terarah. Visi : Terciptanya Pakpak yang berahlak mulia, berkompetensi unggul, dan berdaya saing tinggi pada tahun 2020. Misi (satu diantara misi-misi) : mentransformasikan Pakpak menjadi masyarakat moderen yang kaya IPTEKS moderen. Program (satu diantara program-program) : meningkatkan budaya baca masyarakat. Kegiatan (satu diantara kegiatan-kegiatan) : membangun perpustakaan atau Taman Bacaan di Kabupaten Pakpak Bharat.
Kita warga Pakpak, dimana pun kita berada dan apapun profesi kita, dan berapapun umur kita, perlu menciptakan diri menjadi individu yang biasa membaca, dan akhirnya berbudaya membaca.

Eta mo kaltu, keke kita Pakpak i !!!!!!!!!!!

Lias ate,

Dr. Ir. Sabam Malau
Email : Pakpak_keke@yahoogroups.com atau drsabammalau@yahoo.co.id

Kupetandaken diringku mendahi ke :

1. Simenubuhken aku imo Ibunda Almarhum R Berutu i kuta Km-20 Sibande, Kab Pakpak Bharat, na i.
2. Aku Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Pakpak Bharat Periode 2008-2013 na iangkat Bupati bulan Agst 2008.
3. Aku Tamaten SDN-1 Sukarame, Kec Kerajaan, Kab Pakpak Bharat (1972); Tamaten SMPN-2 Sidikalang (1975), Tamaten SMAN-225 Sidikalang (1979), Tamaten IPB Bogor (1983, S1), Tamaten Univ Georg-August, Goettingen, Jerman (1991, S3).
4. Aku Dosen Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan
5. Aku Staf/Tenaga Ahli atau Konsultan di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara.


Artikel 8


Pendidikan Informal Banyak Gagal
Evaluasi dan Audit Penyelenggaraan

Pontianak,-


Anggota DPRD Kalbar Katherina Lies meminta penyelenggaraan pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.
Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.
“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.
Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.
“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.
Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan.

“Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.
Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia. (riq)
<>



Artikel 9


Telkom Mewujudkan cita-cit On Line Indonesia


Kepala Sekolah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) se-DKI Jakarta menjadi saksi dalam dua penandatangan sekaligus yaitu Nota Kesepahaman (Nokes) antara TELKOM dan Dinas Pendidikan (DISDIK) provinsi DKI Jakarta dan PKS tentang layanan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengembangan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Penandatanganan tersebut dilaksanakan pada Rabu, 4 Maret 2009 lalu di Aula lantai 2 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Jl. Gatot Subroto 40-41 Jakarta Selatan. Dari para peserta yang hadir, tampak dari pihak DISDIK sendiri selain para kepala sekolah juga tampak Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto beserta jajarannya.

Dalam sambutannya setelah penandatanganan Nokes tersebut, Joni Santoso mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada TELKOM untuk turut andil dalam mewujudkan cita-cita mulia dan luhur dari Departemen Pendidikan Nasional dan instansi-instansi di bawahnya, termasuk Dinas Pendidikan. “TELKOM akan membantu Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan untuk mewujudkan cita-cita luhurnya yaitu membangun jaringan pendidikan nasional”, ungkapnya.

Lebih lanjut, Joni Santoso mengungkapkan kepedulian TELKOM terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang diimplementasikan melalui program 6C, yaitu: Completeness, Coverage, Competitive price, Corporate Social Responsibility (CSR) programs, Competence, dan Care. Dalam penjelasannya, beliau menekankan bahwa program-program tersebut telah dibuat sebaik-baiknya untuk mengakomodasi dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya dalam program CSR yaitu “internet goes to school”. Dengan “internet goes to school” tersebut TELKOM berusaha untuk memperluas wawasan dan ruang lingkup ilmu pengetahuan di sekolah yang masih terbatas oleh buku.

Kepala Dinas Pendidikan provinsi DKI Jakarta dalam sambutannya mengungkapkan appresiasi kepada TELKOM yang turut membangun prasarana bagi dunia pendidikan. Hal ini dapat dipastikan akan memberikan kontribusi yang sangat besar. “Ibarat kata seperti jalan, TELKOM telah membuatkan jalan tol bagi dunia pendidikan” sambutnya. Lebih lanjut, Taufik meminta pihak TELKOM juga merambah dunia pendidikan informal yang tak kalah krusial di peta pendidikan di Indonesia mengingat banyaknya pendidikan informal yang disediakan di negara ini. “Saya harap, TELKOM juga membantu dunia pendidikan informal yang merupakan bagian dari dunia pendidikan di Indonesia selain pendidikan formal yang didapat di sekolah-sekolah” lanjutnya.

Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan Online (SIAP Online) yang ditawarkan pihak TELKOM tersebut merupakan gebrakan besar dari sistem pendidikan konvensional yang ada. Dengan adanya SIAP Online ini, TELKOM menawarkan beberapa applikasi penting, antara lain penerimaan siswa baru (PSB) secara Online dan aplikasi-aplikasi yang akan menjadi wadah bagi para guru, siswa, dan orangtua serta dinas-dinas pendidikan yang sudah “tersentuh” SIAP Online ini. (DivCommDives)

Prev: Telkom launching Speedytrek
Next: Selamat bertugas Kapolda Kalsel baru Dr. Drs. Untung S. Radjab



Artikel 10


Homeschooling Solusi, atau Kerugian



Judul: Homeschooling Solusi, atau Kerugian
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION SYSTEM.
Nama & E-mail (Penulis): Huzaifah Hamid
Saya Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Pendidikan Biologi
Topik: Homeschooling
Tanggal: 02 Agustus 2008


Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ?
buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

Saya Huzaifah Hamid setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .



Artikel 11

Seni Tradisi (Nusantara) dan Pembelajarannya di Sekolah

Sejak beberapa tahun ini, banyak dari kalangan penentu kurikulum memfokuskan diri pada seni tradisi. Selain itu, tak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan kembali tentang kehidupan seni tradisi saat ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, masih potensialkah jika kita mengangkat seni tradisi dimana ia hidup dalam kepungan budaya populer dan modern saat ini? serta mampukah seni tradisi memikat siswa dalam pembelajaran seni di sekolah dimana para siswa telah terpengaruhi dirinya dengan budaya populer dan modern saat ini? Belum banyak yang kemudian mempersoalkan bagaimana seni tradisi berperan dalam konteks kehidupan siswa?

Apakah seni tradisi akan memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan siswa? Bahkan menurut Prof. Waridi (seorang guru besar dari ISI Solo), masih jarang yang mempertanyakan dan menggali secara sungguh-sungguh kemampuan dan potensi nilai-nilai ketradisionalan seni nusantara dalam ikut menganyam pencitraan identitas bangsa. Juga belum banyak yang mencoba membicarakan potensi seni tradisi dalam konteks kekinian. Belum banyak pula yang menggagas untuk menjadikan seni tradisi sebagai sarana penanaman nilai-nilai kenusantaraan terhadap siswa-siswa sekolah sejak dini. Justru yang terjadi adalah sebuah perdebatan yang tiada kunjung selesai terhadap pilihan-pilihan materi pendidikan seni yang harus dikomposisikan dalam disain kurikulum sekolah formal serta peminggiran-peminggiran eksistensinya.

Saya pikir perdebatan semacam itu tidak akan kunjung selesai bila masing-masing kelompok melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak ada yang memandang bahwa tradisi itu kuno, ketinggalan jaman, dan lain sebagainya. Sementara di pihak lain ada yang memandang bahwa saat ini memandang seni tradisi dalam konteks budaya Indonesia sangat diperlukan. Kenapa? Karena apabila dilihat dari keberadaannya (diakui atau tidak), seni tradisi ternyata telah berhasil membawa bangsa Indonesia ke dalam kancah pergaulan internasional. Seni tradisi memiliki kemampuan dan potensi untuk mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Karena ternyata dengan seni lah Indonesia dapat dikenal dunia, daripada ekonomi dan teknologinya. Sudah banyak seniman-seniman kita yang melanglang buana keliling dunia dengan unjuk kabisa dalam bidang seni tradisi.

Seni Tradisi

Dari sudut pandang kebudayaan, Prof. Waridi mengatakan bahwa seni adalah salah satu bentuk ekspresi budaya. Kebudayaan ada karena sengaja diadakan oleh manusia untuk membentuk sebuah peradaban bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya hanya manusialah makhluk yang berkebudayaan dan yang memiliki peradaban dalam hidupnya. Salah satu wujud produk kebudayaan manusia, adalah seni. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kemudian banyak yang menyatakan, bahwa seni tradisi dapat mengungkapkan sikap dan proses pengetahuan sosial. Bila demikian halnya, maka sebenarnya wujud seni tradisi tidak hanya berurusan dengan estetika, melainkan di dalamnya mengandung persoalan-persoalan non seni yang multidimensi.

Faktanya di lapangan menunjukkan, bahwa seni tradisi memiliki wajah yang jamak (multifaced). Artinya, bahwa seni tradisi dapat diamati dari berbagai sudut pandang dan berbicara untuk mengungkapkan proses pengetahuan dan perilaku sosial yang beragam pula. Dari konteks inilah kemudian ditemukan sebuah pemahaman, bahwa seni tradisi lahir sesuai dengan tingkat peradaban manusia pendukungnya. Oleh karenanya dalam seni tradisi di dalamnya mengandung pengetahuan peradaban komunitas-komunitas manusia Indonesia yang beragam. Dalam kaitan ini, kebudayaan Indonesia sebagian terekspresikan lewat beragam seni tradisi yang hidup di Indonesia itu. Maka, bukan sesuatu yang tidak masuk akal jika seni nusantara itu menjelma menjadi sebuah tradisi yang secara terus menerus berupaya diwariskan dan dipelajari dari generasi ke generasi berikutnya.

Tradisi berasal dari bahasa Inggris yaitu kata tradition, kita memahaminya sebagai sesuatu yang bersifat turun-temurun, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Apabila dikaitkan dengan seni, merujuk pada pernyataan Prof. Waridi, tradisi mengandung pengertian seni-seni yang keberadaan dan perkembangannya merupakan warisan dari generasi ke generasi sebelumnya yang di dalamnya sarat dengan konvensi-konvensi, serta berkaitan dengan kebutuhan sistem-sosial kehidupan membudaya masyarakat pendukungnya. Walaupun seni tradisi merupakan warisan dari generasi ke generasi, akan tetapi bukan berarti hidup secara statis, ia terus berjalan dan berdialog dengan proses peradaban yang melingkupinya. Oleh karenanya saya menggarisbawahi pernyataan beliau yang mengatakan bahwa adalah wajar bilamana seni tradisi secara wujud, fungsi, dan maknanya selalu berubah-ubah seirama dengan dinamika sosial budaya masyarakat. Perubahan itu bisa saja terletak pada pengolahan bentuk, pengetahuan, serta muatan perilaku sosial yang terdapat di dalamnya.

Berbicara tentang seni tradisi, menurut saya penting untuk dipelajari oleh siswa di sekolah, karena di dalamnya terkandung makna-makna yang pantas untuk diteladani dalam konteks kehidupan manusia secara berkesinambungan. Bahkan Ki Hajar Dewantara memandang bahwa mempelajari seni tradisi dapat menghaluskan budi kita. Beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa alat untuk menghaluskan budi ini ialah halusnya pendengaran dan penglihatan (misalnya belajar gamelan). Penglihatan berpengaruh pada pikiran kita, sedangkan pendengaran berpengaruh pada perasaan atau perangai. Jadi, dengan halusnya kedua panca indera tersebut maka akan berakibat halusnya manusia. Kenapa manusia menjadi halus? Hal ini disebabkan karena panca indera kita merupakan alat-alat manusia yang menghubungkan jiwanya dengan dunia luar.

Dari pernyataan Prof. Waridi dan Ki Hajar Dewantara tersebut, ternyata dalam seni tradisi terdapat makna esensial dan ruh yang pantas untuk diteruskan. Tetapi masalahnya sekarang adalah bagaimana cara untuk menyikapi seni tradisi agar tetap dapat berperan dalam pembelajaran di sekolah. Menurut saya hal tersebut merupakan sesuatu yang amat sangat kompleks, kenapa? karena pada saat ini, kehidupan seni tradisi disekolah dihadapkan pada gemerlapnya budaya populer yang lebih menghibur dan sesuai dengan selera siswa. Sehingga membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks keadaan siswa dan konteks lingkungan yang mempengaruhinya.

Tantangan Seni Tradisi di Sekolah

Keberadaan seni tradisi di era globalisasi dihadapkan kepada sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Saya setuju apa yang dikatakan oleh Prof. Waridi, tentang tantangan-tantangan yang dihadapi seni tradisi saat ini, terutama di sekolah. Hal itu dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Kontinuitas pemahaman dan apresiasi (siswa) terhadap seni tradisi dari waktu ke waktu cenderung semakin menipis. Artinya telah terdapat kecenderungan diskontinuitas di tingkat apresiasi dan pemahaman. Persoalan ini sangat mungkin terjadi karena;

2. Kurang tersedianya ruang dan sarana yang cukup bagi (siswa) anak-anak muda untuk mendapat kesempatan mengapresiasi seni tradisi secara serius.

3. Belum terjadi proses internalisasi unsur-unsur seni tradisi secara wajar, sinambung, dan sistemik dalam usia anak dini dan remaja. Dalam artian pembelajaran seni saat ini, masih mengabaikan konteks keadaan siswa dan lingkungannya.

4. Sebagian seni tradisi cenderung tampil kurang menggairahkan, karena dalam keadaan lesu darah. Hal ini berkaitan dengan persoalan semakin memudarnya patron-patron yang memayungi seni tradisi untuk terus mampu melakukan aktivitas pentas maupun kegiatan-kegiatan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Seperti kurangnya dukungan dari pemda-pemda dalam upaya menghidupkan kembali seni tradisi.

5. Berhadapan dengan kebudayaan seni pop yang dipandang dapat mencitrakan gejolak emosi anak muda (siswa remaja).

6. Munculnya kekuatan kapitalis yang bergerak dalam industri budaya, cenderung memberi ruang sangat luas terhadap jenis-jenis seni populer. Secara realitas kekuatan ini sulit untuk dihindari dan masyarakat seni tradisi tidak memiliki kekuatan untuk mengimbanginya. Akibatnya satu kendala yang lain segera melengkapi tantangan-tantangan lainnya yang muncul dalam dunia seni tradisi, yaitu;

7. Seni tradisi lebih dipandang dan dicitrakan sebagai seni masa lalu yang kurang mencitrakan kemodernan. Bila demikian terdapat sesuatu yang agak menggelisahkan, yakni kemungkinan munculnya suatu persepsi yang memandang, bahwa seni populer dalam perspektif umum dijadikan sebagai ukuran atau standar mutu keberadaan sebuah seni termasuk festival-festival atau kontes-kontes pada suatu bangsa. Tanda-tanda ini mulai muncul di Indonesia, yakni penilaian yang didasarkan atas banyaknya dukungan yang masuk terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berdampak langsung terhadap dimenangkannya seseorang dalam suatu kontes kesenian. Tindakan semacam ini secara jelas telah terdapat upaya-upaya dari sekelompok orang untuk menggeser persoalan subjektivitas kesenian ke arah objektivitas publik.

Salah satu ciri esensial subjektivitas dalam penilaian terhadap suatu kualitas kesenian biasanya dipercayakan kepada dewan pakar atau seorang ahli dibidangnya, sementara yang berkembang saat ini, kewenangannya dialihkan kepada publik. Penilaian dari dewan pakar untuk menentukan kualitas suatu sajian kesenian, biasanya disertai analisis yang mendalam terhadap berbagai unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Pertimbangan yang diambil lebih mengutamakan persoalan-persoalan estetik dan konteksnya, sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan. Sementara di sisi lain penilaian yang dilakukan oleh publik sering tercampur dengan persoalan "suka atau tidak suka".

Akibatnya bisa saja terjadi, bahwa yang menang bukan mencerminkan kualitas yang sesungguhnya, dalam kata lain kemenangan yang bersifat semu. Bilamana ini menggelinding secara terus menerus, bisa jadi dapat berpengaruh kuat terhadap terbentuknya opini dan persepsi publik, bahwa seni yang dianggap baik adalah seni yang disenangi oleh banyak orang, bukan seni yang secara fungsional mampu hidup dalam konteks kehidupan membudaya masyarakatnya. Pemahaman seperti itu secara jelas hanya memandang, bahwa seni semata-mata didudukkan sebagai objek hiburan. Dari awal persepsi yang demikian itulah seni tradisi nusantara mulai mengalami kesenjangan di kalangan anak muda (siswa). Seni tradisi sudah tidak lagi dipandang sebagai bagian dari kebudayaan mereka.

Jadi, dari pernyataan di atas, kenyataan tantangan-tantangan tersebut melahirkan dua persepsi, yakni pertama pandangan yang menempatkan massa sebagai basis orientasi penilaian. Dalam persepsi ini tergambar, bahwa baik dan buruk suatu karya seni didasarkan atas pertimbangan selera massa dari pada kualitas yang dilegitimasi oleh ahlinya. Secara jelas cara semacam ini dilatari oleh semangat budaya populer dan kapitalis, dimana partisipasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat merupakan salah satu tujuan untuk meneguk keuntungan finansial. Situasi yang demikian ini seni tradisi telah dilepaskan dari roh spiritualitasnya dan menjelma menjadi bagian seni yang bersifat profan dan hiburan. Nilai-nilai toleransi, perekat sosial, kebersamaan, kemerdekaan, kreatifitas, dan kesetiakawanan sosial menjadi hilang. Persepsi kedua, tetap menempatkan seni tradisi sebagai basis kekaryaan dan sarana internalisasi nilai-nilai tersebut di atas. Persepsi yang kedua ini umumnya memilih jalur mengolah potensi yang terdapat dalam seni tradisi dengan tetap mempertimbangkan aspek kulturalnya, yakni mengolah seni tradisi dengan pendekatan reinterpretasi. Tentunya dua persepsi ini berdampak secara signifikan terhadap apresiasi masyarakat terhadap pendidikan seni tradisi.

Seni Tradisi dalam Pembelajaran di Sekolah

Seni tradisi mempunyai potensi yang cukup beragam dan memiliki kemampuan untuk merangsang imajinasi kreatif bagi para siswa. Menurut Prof. Waridi, potensi itu setidaknya dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1.seni tradisi nusantara cukup beragam dan masing-masing memiliki keunikan sesuai dengan kelokalannya.

2.memiliki ragam instrumen, tangga nada, serta teknik permainannya secara spesifik.

3.memiliki ragam lagu dan vokabuler permainan.

4.memiliki ragam struktur dan bentuk.

Dari keberagaman tersebut, implementasinya dalam pembelajaran di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan re-interpretasi menjadi tawaran yang memungkinkan dapat menjaga keberlanjutan seni tradisi agar tetap mampu berbicara dalam konteks pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, seni tradisi hanya dijadikan sebagai media pembelajaran untuk merangsang kreativitas siswa. Nilai-nilai atau ruh yang terkandung dalam seni tradisi dapat direinterpretasikan melalui media lain sesuai dengan keadaan siswa dan sarana prasarana sekolah.

Pendekatan lainnya yakni pendekatan 'modernisme' dapat dimanfaatkan untuk melahirkan karya seni dengan cita rasa kekinian yang berbasis pada seni tradisi. Artinya, dari proses reinterpretasi tersebut siswa kemudian diajak ke konteks kehidupan saat ini (modern), sehingga diharapkan dapat melahirkan hasil karya seni melalui media lain, misalnya alat musik yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang dan lain sebagainya tanpa meninggalkan esensi dan ruh yang terkandung dalam seni tradisi.

Jadi melalui dua pendekatan di atas, atau mungkin berbagai pendekatan lainnya, pembelajaran seni tradisi diharapkan mampu mendorong kreativitas anak, sehingga pada diri siswa tumbuh kesadaran estetis, toleran, sikap kritis terhadap karya seni, berbudi luhur, dan mempunyai jati diri yakni jati diri sebagai warga Indonesia, sehingga akhirnya dengan mempelajari seni tradisi, apresiasi siswa/masyarakat terhadap pembelajaran seni akan semakin meningkat pula. Dan yang tak kalah pentingnya yakni peran guru dan kebijakan sekolah. Kebijakan sekolah dan guru yang menaruh perhatian besar terhadap pembelajaran seni sesungguhnya mampu memberi dorongan terhadap semakin menguatnya apresiasi masyarakat terhadap pembelajaran seni khususnya seni tradisi.

Artikel 12

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

Artikel 13

Perbanyak Sekolah Informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.
Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.
Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.
Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.
Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.
Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.
Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini.

Artikel 14

Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua

Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik.

Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.

Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya “sekolah-sekolah” homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.

Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya “sekolah” berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.

Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.

Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak.

Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.

Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.

Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.

Artikel 15

Dewan Anggap Home Schooling Liar

Senin, 24 September 2007
TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Munawar Soleh menganggap pendidikan sekolah rumah / home schooling liar.

"Mereka itu mau kemana, tujuannya apa tidak jelas," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional, Senin.

Ia menyarankan perlunya pengawasan terhadap praktek pendidikan model ini, karena dianggap sudah keluar jalur dan tidak mengindahkan peraturan.

Sudigdo Adi dari Fraksi PDI-P menyatakan dalam sekolah rumah tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang kebangsaan dan kewarganegaraan. "Indonesia mau jadi apa? Pendidikan pada dasarnya harus menjaga kelangsungan bangsa. Tapi sekolah rumah malah membuat ciri Indonesia hilang," jelasnya.

Pendidikan sekolah rumah, tambahnya, mendidik anak menjadi individualis. Pendidikan ini tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa aturan. "Harus ada peraturan yang membatasi," katanya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan sekolah rumah bukan pendidikan nonformal, tapi pendidikan informal. Artinya, untuk mencapai kesetaraan, peserta didik harus mengkuti ujian persamaan. "Ada paket A, paket B dan paket C, tergantung tingkatan pendidikan," katanya.
Reh Atemalem Susanti